Skandal Lahan 82,6 Hektare Sugihmanik Kabupaten Grobogan : Aktivis Bongkar Dugaan Penyimpangan

INFORMASITERKINI1.COM

GROBOGAN 29 November 2025  – Skandal konflik lahan eks HGB No. 1 Sugihmanik seluas 82,6 hektare menyeruak ke publik. Meski kasus hukum yang menyeret Y (66), Direktur PT Azam Anugerah Abadi (AAA), sebagai terdakwa dinyatakan selesai, dugaan praktik mafia tanah di wilayah tersebut dinilai masih jauh dari kata usai. 

Hal ini disampaikan oleh Ketua Rakyat Pemberantas Korupsi Republik Indonesia (RPK-RI), Susilo, salah satu pihak yang sejak lama mengikuti polemik lahan tersebut, Sabtu (29/11/25).

Menurut Susilo, penyelesaian perkara yang menempatkan PT Azam Laksana Intan Buana (ALIB) sebagai korban tidak secara otomatis mengakhiri rangkaian dugaan praktik mafia tanah yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. 

Ia menegaskan, lahan eks HGB itu secara de facto merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Grobogan yang masa berlakunya telah habis ketika dialihkan ke PT ALIB.

Susilo menyebut, fakta ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi lembaga penegak hukum seperti KPK, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung untuk membuka penyidikan baru. 

Ia menilai ada indikasi kuat bahwa aset negara telah berpindah dan dikelola oleh pihak-pihak yang tidak memiliki legalitas maupun kapasitas keuangan yang memadai.

Lebih jauh, ia mengungkap adanya penggunaan nama perusahaan yang mirip, yakni PT ALB (Azam Lintas Buana), perusahaan yang dipercaya PT Semen Sugih Harapan untuk pembebasan lahan berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah terkait pendirian pabrik semen terbesar se-Asia. 

Nama perusahaan itu kemudian diduga dimanfaatkan pihak lain untuk melakukan klaim dan pembebasan lahan.

Menurut Susilo, PT ALB merupakan perusahaan resmi yang melakukan proses pembebasan lahan sejak sekitar tahun 1983, ketika rencana pendirian pabrik semen pertama kali digulirkan. 

Namun dalam perkembangannya muncul perusahaan lain dengan nama serupa, yaitu PT ALIB (Azam Laksana Intan Buana) dan PT AAA (Azam Anugerah Abadi), yang disebut memiliki pendiri yang sama.

Kedua perusahaan tersebut, menurut Susilo, saling berebut legitimasi untuk mengambil alih proses pembebasan lahan. 

Konflik internal di antara mereka bahkan berujung kekalahan Y secara personal sebagai direktur PT AAA, sementara pihak lain justru melenggang bebas dengan mengatasnamakan investasi berskala besar.

Yang menjadi sorotan, kata Susilo, PT ALIB maupun PT AAA disebut tidak memiliki modal kuat serta tidak mempunyai rekening resmi atas nama perusahaan. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sumber pembiayaan, legalitas operasi, serta motivasi di balik penggunaan nama perusahaan-perusahaan tersebut dalam proses penguasaan lahan.

Susilo menilai praktik-praktik yang terjadi dalam konflik lahan Sugihmanik merupakan ilustrasi nyata bagaimana mafia tanah memanfaatkan celah hukum, tumpang tindih perizinan, serta lemahnya pengawasan terhadap aset negara. 

Situasi ini, menurutnya, telah melukai rasa keadilan masyarakat setempat yang menjadi pihak paling terdampak sejak awal.

Ia menegaskan bahwa sejarah panjang konflik lahan ini tidak bisa dipisahkan dari proses penggusuran warga Sugihmanik puluhan tahun lalu untuk kepentingan industrialisasi. 

Namun hingga kini, persoalan tersebut terus berlanjut dengan wajah baru melalui perusahaan-perusahaan yang berganti nama.

“Ini preseden buruk bagi bangsa dan negara,” ujar Susilo. 

Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan rangkaian praktik penguasaan ilegal atas lahan tersebut dan mengembalikannya sebagai aset negara.

Agung Red(*)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama

JSON Variables

SPONSOR