Jakarta, 1 September 2025– Pemandangan tak biasa terlihat di depan Kompleks Parlemen Senayan pada Minggu siang (31/8/2025). Jalan raya yang biasanya ramai, kini tampak lengang. Hanya barikade polisi yang berdiri kokoh, menciptakan suasana tegang. Udara masih terasa pedih, sisa-sisa gas air mata yang ditembakkan saat kericuhan melanda.
Di trotoar tak jauh dari sana, seorang pemuda kurus dengan wajah letih duduk sendirian. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Ahu, seorang demonstran yang tertinggal dari rombongannya. Kepada Republika, ia membeberkan kisah yang mengejutkan, tentang demonstrasi yang berujung penjarahan rumah-rumah pejabat, termasuk kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ahu mengaku sudah dua hari terpisah dari kelompoknya. Ponselnya dititipkan ke pimpinan rombongan. Ia juga mengaku tak tahu menahu jika rumah-rumah sejumlah anggota DPR dan Menteri Keuangan telah dijarah pada Sabtu (30/8/2025) malam.
Meski begitu, Ahu dengan fasih menjelaskan rencana penjarahan yang sudah disiapkan sejak awal. “Sebelum terpisah kami dikasih tahu nanti ke rumah siapa itu di Jakarta Utara, dekat kota.
Daerah yang banyak mobil besarnya itu, Bang,” kata Ahu.
Menurut Ahu, pimpinan rombongan menginformasikan bahwa ada empat rumah yang akan menjadi sasaran penjarahan. Menariknya, rumah Presiden Prabowo Subianto menjadi target terakhir, sedangkan rencana penjarahan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Perjalanan dari Cimahi hingga Jakarta
Ahu menceritakan bagaimana ia dan rombongannya bisa sampai di Jakarta.
Berasal dari sebuah desa di Kecamatan Cimahi, pemuda berusia 21 tahun ini hanya menamatkan pendidikan dasar. Ia sering diajak berunjuk rasa ke Bandung dan Jakarta oleh seorang "abang-abangan" berinisial R. Ahu mengakui sudah delapan kali menjadi "tim pemukul" dalam berbagai demonstrasi.
Ajakan terbaru datang pada Rabu (27/8/2025), dengan tujuan untuk memprotes anggota DPR. Sebelum berangkat, mereka diperintahkan untuk membuat 160 bom molotov. Botol-botol yang diisi minyak tanah itu kemudian diangkut menggunakan sebuah mobil minibus putih.
Di dalamnya, sudah tersedia banyak petasan dan kembang api.
Konvoi yang dipimpin oleh empat mobil—termasuk satu berpelat B (Jakarta) dan dua berpelat F (Bogor dan sekitarnya)—menjemput "pasukan" tambahan dari Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Sesampainya di Bogor, rombongan sepeda motor sudah mencapai 600 orang.
Rombongan itu sempat berunjuk rasa di Tangerang sebelum akhirnya tiba di Kompleks Parlemen Senayan pada Kamis. "Langsung kita serang pagarnya, petasan dibakar, bom molotov dilemparin," ungkap Ahu. Ia menambahkan, komandan di dalam mobil ikut turun dan memanasi penyerangan.
Terpisah dari Rombongan
Pada Jumat malam, aparat mulai menembakkan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa.
Saat itulah Ahu terpisah dari rombongannya. "Saya cari-cari nggak ketemu. Terlalu banyak orangnya," ujarnya. Tanpa ponsel dan uang, upayanya untuk menyusul ke Jakarta Utara pun gagal.
Ahu terkejut saat diberitahu bahwa penjarahan rumah-rumah anggota dewan sudah dilakukan pada Sabtu sore. "Udah ancur? Saya mau ke sana ditinggal!" serunya. Ahu mengaku baru mengetahui kabar tersebut setelah ditunjukkan video penjarahan.
Saat melihat video penjarahan dan perusakan kediaman politikus Nasdem Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Ahu langsung mengenali beberapa orang di dalamnya. "Itu yang naik ke atas mobil yang pegang hape sama jaket saya," katanya sambil menunjuk salah satu penjarah. "Itu yang baju biru juga rombongan saya, Bang," tambahnya.
Demonstran Murni vs. Demonstran Bayaran
Di tengah kekacauan, tak semua demonstran datang atas suruhan. Seorang ibu bernama Salimah (60 tahun) dari Kalibata, Jakarta Selatan, mengaku datang untuk menyampaikan aspirasi murni. "Saya jengkel beneran, Mas. Masak kita bayar listrik, beli beras, bayar pajak, dia orang DPR nggak bayar pajak," ujarnya berapi-api.
Salimah mengatakan ia sudah membawa bekal dan siap berdemonstrasi sampai kapan pun. Ia mengaku bertemu dengan rombongan lain yang direkrut dengan cara serupa, berasal dari berbagai daerah seperti Bandung, Bekasi, Jawa, bahkan ada yang berbicara seperti orang Medan.
Sementara sebagian kelompok beraksi di DPR, Ahu menyebutkan bahwa rekan-rekannya yang lain membakari halte-halte Transjakarta. "Itu pakai molotov yang dibuat di kampung," katanya. Sebagian anggota rombongan ditugaskan mengunggah siaran langsung di TikTok.
Kisahnya yang terpisah dari sel-sel komando membuat pengakuan Ahu tidak bisa diverifikasi secara independen oleh Republika. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para penjarah bukan penduduk setempat. Warga Jakarta Utara bahkan mencoba mencegah penjarahan terhadap kediaman Ahmad Sahroni, menyatakan bahwa mereka tidak mengenali wajah para pelaku. Dilansir dari Republika.co.id
Bagaimana menurut Anda, apakah pengakuan Ahu dapat dipercaya?
Agung Red(*)