INFORMASITERKINI1.COM
TARAKAN - Sebuah perselisihan kepemilikan lahan di Jalan Bayangkara, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat, telah menarik perhatian publik. H. Moh. Maksum Indragiri (65), yang telah menguasai sebidang tanah seluas sekitar 3 hektare sejak tahun 1984, kini harus mendekam di tahanan sejak 26 Juni 2025. Ia dijadikan tersangka dengan tuduhan memalsukan surat-surat tanah yang menjadi bukti kepemilikannya.
Menurut kuasa hukumnya, Indrawati, kliennya selalu membayar pajak tahunan atas tanah tersebut. Sengketa ini baru muncul pada Mei 2024, ketika sebuah perusahaan mengklaim lahan itu untuk proyek pembangunan apartemen bagi karyawannya.
“Tidak ada mediasi yang dilakukan sebelumnya. Klien kami tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan memalsukan dokumen,” ujar Indrawati pada Minggu (17/8/2025).
Indrawati menambahkan, pihaknya juga pernah melaporkan dugaan penyerobotan, perusakan, dan penggelapan tanah. Namun, laporan tersebut dihentikan polisi melalui surat tertanggal 30 April 2025. Dalam surat itu disebutkan bahwa laporan Maksum tidak memenuhi unsur pidana dan disarankan untuk diselesaikan melalui jalur perdata.
Kini, Maksum dijerat dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang penggunaan surat palsu, yang ancaman hukumannya bisa mencapai enam tahun penjara. “Kami menolak pasal itu karena tidak ada bukti. Dalil yang diajukan oleh pelapor saat pemeriksaan di pengadilan sangat lemah. Kami meminta klien kami dibebaskan dan kasus laporan kami sebelumnya dilanjutkan,” tegas Indrawati.
Keluarga Menilai Ada Kriminalisasi
Pihak keluarga Maksum juga menyatakan keberatan atas penetapan tersangka ini. “Kami tidak terima jika kasus perdata diubah menjadi kasus pidana. Di mana letak keadilan bagi rakyat kecil? Kami menduga ini adalah kriminalisasi,” kata Radia, putra Maksum.
Penahanan terhadap Maksum, yang juga dikenal sebagai seorang imam masjid, menimbulkan keraguan besar. Bagaimana mungkin seseorang dengan bukti kepemilikan tanah yang sah justru dituduh menyerobot tanahnya sendiri? Ironisnya, surat-surat Maksum disita polisi, sementara pihak pelapor tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan yang kuat saat mediasi.
Kuasa hukum Maksum berpendapat bahwa penahanan ini tidak sah secara hukum karena tidak ada izin pengadilan dan bukti yang ada sangat lemah. Mereka menegaskan bahwa sengketa tanah seharusnya diselesaikan melalui pengadilan perdata, bukan dijadikan kasus pidana untuk menjebak pemilik lahan.
Kasus ini dinilai menunjukkan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di usia senjanya, Maksum harus mendekam di balik jeruji besi hanya karena mempertahankan haknya. Kasus ini memperlihatkan bagaimana hukum seolah menjadi alat untuk menindas rakyat kecil, bukan melindunginya.
Haji Maksum telah memohon keadilan hingga ke Presiden, berharap ada tindakan nyata dari negara untuk melindungi hak rakyat kecil dari kekuatan modal. Pertanyaannya, apakah permohonan rakyat kecil ini akan didengar, atau hanya akan terkubur oleh kepentingan yang lebih besar?
Agung Red(*)